Catatan Kecil: Tahun-tahun seterusnya adalah sebuah perjalanan
| Sebuah teluk di Walden Pond tempat Thoreau tinggal 1845-1847. |
Pada ambang tirai laburnya tahun ini dan menjelma tahun baharu, saya ingin membawa sedikit ulasan kepada sebuah buku yang ditulis oleh Henry David Thoreau yang berjudul Walden. Bermula dengan pembacaan tulisan Frederic Gros dalam A Philosophy of Walking yang pada akhirnya membuat saya untuk lebih menekuni falsafah transendental di dalam Walden.
| A Philosophy of Walking, terjemahan bahasa Inggeris (kiri) & bahasa Indonesia (kanan). |
Frederic Gros menulis kecintaan Thoreau akan pada hari pagi tercermin dalam pemujaannya kepada musim semi, saat dia menceritakan – pada bulan April di Danau Walden yang memancarkan hari muka dengan semangat baharu, prinsip bahawa yang abadi akan selalu mengalami pembaharuan.
Dengan lafaz Thoreau yang menyegarkan; “Tahun ini diawali dengan harapan yang lebih muda daripada sebelum-sebelumnya!”
Thoreau dalam
pembikinan Walden, memberi kepada kita satu persoalan besar tentang
kehidupan yang dijalani bahawa bersederhana tanpa dibebani dengan kebendaan
adalah sesuatu yang menyenangkan meski ia terbukti sebagai sebuah wasiat agung
bagi falsafah individualisme di Amerika.
Thoreau
menulis Walden dengan mengasing diri bersendirian di sebuah rumah kecil (cabin)
yang terletak di pinggiran Danau Walden, Concord, Massachusetts seperti yang
dirakamkan olehnya dalam Walden; “Saya tinggal di sana selama dua tahun
dan dua bulan. Pada saat ini, saya telah kembali singgah di kehidupan beradab.
“Bukannya
saya berniat menuliskan syair kesedihan, melainkan berseru sekeras ayam jantan
di pagi hari yang bertengger di sangkarnya, dengan harapan membangunkan para
tetangga,” tertulis baris ungkapan Thoreau dalam Walden.
| Replika kabin Thoreau berhampiran Walden Pond dan patungnya. |
Walden
mengingatkan kepada kita tentang dunia moden yang penuh dengan kebejatan dan
ketidakharapan, untuk kembali kepada asas nilai, kekuatan dan keindahan
peribadi yang tidak terbatas.
Sebagaimana
diungkapkan oleh Chapman dalam baris tulisan Thoreau yang menuturkan; “Kumpulan
manusia nan palsu – demi kehebatan duniawi, segala kenyamanan Syurgawi lenyap
di udara.”
Saya memetik tentang tiga perkara yang pernah seorang gadis memberitahu tentang kembali
pada penetapan matlamat; tujuan, semangat dan prinsip. Saya kira perkara ini
bukan sesuatu bertentangan.
Thoreau
menulis, “kebanyakan orang … terhanyut dalam urusan dan pekerjaan keseharian
sehingga buah kehidupan yang lebih baik tidak dapat mereka petik … ruang untuk
mempertahankan integriti tak mampu mempertahankan hubungan paling manusiawi
dengan manusia; jerih payahnya dijual murah pasaran. Dia tidak punya waktu
untuk menjadi apa pun selain sebuah mesin.”
Ia membawakan
kita kepada sebuah persoalan; bagaimana seseorang itu boleh mengingat
ketidaktahuannya–yang dibutuhkan untuk perkembangan dirinya?–bilamana seorang
itu sering menggunakan pengetahuannya?
Thoreau memberi
jawapan yang agak berjela;
“Saya
memikirkan kita dapat memiliki keyakinan yang lebih besar dari yang kita miliki
saat ini. Kita menyita sekian banyak perhatian dari diri kita saat kita
mencurahkannya dengan sesungguhnya kepada hal lain. Padahal alam dapat
beradaptasi dengan baik terhadap kekuatan mahupun kelemahan kita. Kecemasan
yang didorong oleh sebahagian orang yang hampir nyaris dibebani dengan berbagai
penyakit tidak tersembuh. Kita didorong untuk membesar-besarkan pentingnya
pekerjaan yang kita lakukan; tetapi betapa banyak hal yang tidak pernah kita
lakukan … Betapa tekun dan kesungguhan kita memaksakan diri untuk hidup, memuja
jalan hidup kita, dan menolak kemungkinan untuk berubah … padahal ada sekian
banyak jalan, sebanyak garis, yang boleh kita tarik memancar dari sebuah titik.
Setiap perubahan adalah sebuah keajaiban yang layak direnungkan, tetapi
keajaiban perubahan itu sendiri terjadi setiap saat.”
Walden
membawakan kita untuk merenungkan kembali kepada realiti dan kebenaran, yang
pada akhirnya reformasi masyarakat ditemui melalui penilaian dalaman terhadap
diri dan tentang keperluan hidup. Ia merupakan percubaan Thoreau untuk
memperbaharui individu dan masyarakat yang pada asasnya adalah memperbaharui
diri melalui penerokaan jiwa dalaman dan setiap pembaharuan memerlukan yang
lain.
Kerana
Thoreau mempunyai pandangan tersendiri terhadap kebiasaan umum (conventionality)
yang terhasil daripada perindustrian yang berleluasa pada zamannya sehingga
membawa Thoreau mengasingkan diri di Danau Walden, yang dentum genderang kalimat-kalimat
transendentalnya mendorong untuk memahami semula dunia yang serba kebejatan dan
menindas, dengan cara membuat kita membayangkan bahawa kita berada dalam
keadaan sebegitu, sehinggalah ianya mencanang konsep keingkaran awam (civil
disobedience).
Mungkin
inilah yang menetapi dalam puisi sufi Parsi, Hafiz seraya berkata:
Bagaimana kita tidak tersesat di tengah kebun
raya keyakinan. Walhal, Adam tersesat hanya sebuah benih! Tiada tempat
menghindar dari penghujatan di taman rindang kekasih. Jika “Abu Lahab” tiada,
siapa akan dilahap api neraka? Ketika Adam yang terpilih itu tersambar oleh
petir keangkunan. Bagaimana mungkin kita harus mengakui kesucian kita?
Pada akhirnya
Walden mengajak kita untuk mengejar fajar yang terbuka di depan mata kita, dan
masih ada hari yang panjang setelah fajar, dan matahari hanyalah sebuah bintang
pagi yang akan menerangi dedaunan malam pada hari muka.
| Walden, terjemahan bahasa Indonesia (kiri) & bahasa Inggeris. |